Sabtu, 24 April 2021

Mendalami Cerpen "Sulastri dan Empat Lelaki" Karya M. Shoim Anwar

 

"Sulastri dan Empat Lelaki" Karya M. Shoim Anwar 

            Berbagai macam cara penulis untuk menuangkan seluruh ide kreatifnya mulai dari karya ilmiah hingga karya sastra. Seperti hal nya M. Shoim Anwar yang telah memiliki banyak sekali karya yang luar biasa mulai dari puisi, cerpen dan novel. Karya sastra adalah sebuah karya dengan ide atau gagasan yang terkadang mengacu pada kehidupan yang kemudian dikemas dengan kreatif sehingga menghasilkan sebuah karya sastra. Karya sastra cenderung lebih bebas dari karya ilmiah.

            Cerita Pendek atau biasa disebut dengan cerpen adalah sebuah tulisan karya sastra yang memiliki ide dengan melihat suasana, keadaan yang ada di dunia nyata yang kemudian di kreasikan dan disampaikan menggunakan bahasa yang bebas, kreatif dan menarik tanpa menghilangkan nilai-nilai yang akan disampaikan. Cerita pendek dibuat sesingkat mungkin tidak bebelit agar pembaca tertarik dalam membaca karya tersebut. Bentuk cerita yang disuguhkan pendek namun padat sehingga mempermudah pembaca dalam memahami makna atau nilai-nilai dalam cerrita pendek.

            Kali ini, cerita pendek dengan judul Sulastri dan Empat Lelaki karya M. Shoim Anwar akan menjadi contoh sebagai cerita yang memiliki daya Tarik dan mengandung nilai-nilai yang ada di kehidupan. Cerita Pendek ini mengisahkan nasib seorang wanita bernama Sulastri yang tengah bekerja di negeri orang. Cerita bermula dari Sulastri yang merupakan seorang istri dari lelaki bernama Markam. Mereka hidup Bersama dengan anak-anaknya di daerah Tegal-. Bengawan Solo. Kehidupan mereka awalnya berjalan dengan normal dimana Markam adalah seorang pekerja di Museum Trinil dan Sulastri pengelola kebun tembakau yang hasil tanamnya dapat diserahkan pada pabrik rokok, namun semakin lama Sulastri merasa bahwa ia telah dipermaikan oleh perusahaan rokok tersebut. Keadaan perekonomian keluarga Sulastri semakin tidak terkendali. Suaminya Markam semakin tidak jelas denga napa yang dikerjakannya. Markam mulai bertapa dengan meninggalkan pekerjaannya. Ia bertapa dengan tujuan mendapatkan keris atau tombak yang dapat menyelamatkan keluarganya dari kemiskinan.

Sulastri kian gelisah Ketika melihat pertapaan sang suami tidak juga dapat menjadikan perekonomian keluarga kecilnya membaik dan justru semakin parah. Menghidupi empat orang sangat berat bagi Sulastri saat ini karena perekonomian mereka yang semakin hari semakin miris. Awal Markam bertapa, Sulastri masih dapat berharap akan ada hal baik yang datang namun tetap saja tidak terjadi apapun. Kemurkaan Sulastri setiap hari semakin meluap.  Pertapaan Markam menjadi penghilang kesabaran Sulastri. Sulastri menumpahkan segala amarahnya pada Markam pada saat sang suami baru saja pulang bertapa. Sulastri melemparkan buku yang membuat Markam yakin dengan bertapa akan membawa hal baik pada keluarga. Namun nyatanya tidak, keluarganya kian miskin dan membuat Sulastri murka. “Kau bukan Siddhartha, sang pertapa Gotama dari Kerajaan Sakya yang pergi bertapa dengan meninggalkan kemewahan pada keluarganya. Istri dan anaknya ditinggal dengan harta benda yang berlimpah. Tapi kau malah meninggalkan kemelaratan untuk aku dan anak-anak!”

Kenangan itu menjadi hal yang membuyarkan lamunannya. Sulastri kini berdiri menatap laut merah. Tak lama kemudian Sulastri melihat sosok yang ia takuti muncul sosok tersebut adalah Firaun.Sulastri berlari meminta bantuan kepada polisi namun, polisi tidak ingin menolong sebab di awal, Sulastri telah berperilaku buruk pada sang polisi yakni mengabaikan pertolongannya. Sulastri kemballi berlari mencari pertolongan dengan sekuat tenaganya. Hingga akhirnya ia melihat sosok besar yang ia Yakini adalah Musa. Ia berusaha memintapertolongan terhadap Musa agar bebas dari kejaran Firaun.

Musa yang melihat kejadian tersebut tidak langsung menolong Sulastri, ia membeberkan bahwa Sulastri datang ke negeri ini dengan cara yang salah, Sulastri juga telah berbuat salah dengan ikut suaminya menyembah berhala. Hal-hal yang Sulastri lakukan di masa lampau membuat Musa sulit untuk membantu Sulastri. Setelah menjabarkan kesalahan-kesalahan Sulastri, Musa Kembali menghilang dari hadapan Sulastri. Dikejarlahh Kembali Sulastri oleh Firaun. Sulastri masih berusaha berlari sekuat tenaga.

Saat sedang berlari menghindari kejaran Firaun lagi-lagi sosok Musa datang berupa tongkat. Tongkat tersebut digenggamnya dan dipukulkan kearah Firaun dan kemudian Firaun pecah berkeping keping. Tak lama Sulastri tersadar bahwa dirinya sedang berada di tepi Laut Merah seorang diri dengan hamparan pasir pantai yang memanas karena matahari.

Berdasarkan cerita pendek ini memiliki beberapa aspek yang dibahas oleh penulis dengan ringkas. Aspek paling kentara adalah aspek Religi hal ini tergambarkan pada cerita Markam yang bertapa demi mendapatkan kesejahteraan, bukan beribadah dengan baik kepada Tuhan dan bekerja lebih giat tetapi malah bertapa yang tidak lain sama seperti menyambah berhala atau menyekutukan Tuhan. Markam disini diceritakan seseorang yang bertapa demi mendapatkan keris dan tombak yang diyakini dapat membawa keberuntungan. Namun hal tersebut tidk dapat dibenarkan dari segi agama.

Sulastri dianggap ikut andil dalam pertapaannya dikarenakan Ketika Markam mulai bertapa, Sulastri juga mengharapkan hal serupa dari pertapaan suaminya itu. Hal ini dapat dikatakan bahwa Sulastri sempat mendukung perilaku tidak baik Markam yaitu menyekutukan Tuhan. Namun sulastri berdalih bahwa perbuatannya adalah sikap seorang istri yang taat pada suaminya. Padahal dalam agama, jika ada sesuatu yang dirasa tidak baik sebaiknya diingatkan atau tidak mengikuti perilakunya. Sulastri disini seperti mendukung suaminya berjalan kearah kesesatan, tidak lagi percaya Tuhan dan mulai berpaling dariNya.

Sebenarnya dalam cerita ini penulis telah memberikan sebuah gambaran pertolongan kepada Sulastri yaitu pertolongan seorang polisi. Pertolongan Polisi ini dpat diartikan sebagai pertolongan Tuhan kepada Sulastri, namun Sulastri justru menganggap pertolongan yang datang sebagai ancaman pada dirinya sehingga ia menolak pertolongan tersebut dn memilih bersembunyi. Pertolongan yang dianggap sebagai hal buruk itu hilang dikala Sulastri benar-benar membutuhkan pertolongan. Hal ini digambarkan pada saat sulastri dikejar oleh Firaun, polisi yang tadinya ingin membantunya menjadi enggan dan menghindari Sulastri seperti saat sulastri menghindari polisi.

Tuhan adalah sosok yang akan melindungi HambaNya dimana pun dan kapanpun. Hal ini ditunjukkan dalam cerita dimana Sulastri dipertemukan dengan Sosok Musa yang menyadarkan Sulastri atas perbuatan-perbuatannya dimasa lalu. Mulai dari menyembah berhala, kemalasan hingga jalan yang diambil pada saat pergi ke negeri Arab. Melalui Musa Tuhan juga membebaskan Sulastri dari kejaran Firaun. “Saya ditelantarkan suami, Ya Musa.” Ujar Sulastri. “Suamimu seorang penyembah berhala. Mengapa kau bergantung padanya?” hal inilah yang menjadi penyebab kemungkaran seorang sulastri. Saya seorang perempuan, Ya Musa.” Rengek Sulastri pada Musa “Perempuan atau laki diwajibkan mengubah nasibnya sendiri.” Hal tersebut menggambarkan bahwasanya manusia telah diberikan waktu, diberikan kesempatan untuk mengubah nasibnya dengan cara yang baik dan benar tanpa berpaling dari Tuhan. Hanya saja manusia sendiri yang malas dan suka mencari yang instan.

Cerita ini juga memiliki aspek ekonomi yang mana disinggung dalam cerita keluarga Sulastri yang dipermainkan oleh Pabrik rokok dan berujung pada perekonomian yang kian menipis. Hal ini seperti pada kehidupan nyata dimana rakyat kecil yang notabennya adalah seorang distributor dibodohi oleh orang-orang yang memiliki kuasa atau tingkat lebih tinggi dari mereka. Rakyat-rakyat kecil dibohongi yaitu membeli hasil panen mereka dengan harga yang rendah namun dijual Kembali dengan harga yang menguntungkan satu pihak. Jika di hubungkan dengan perekonomian di Indonesia petani-petani beras berusaha menghasilkan padi yang berkualitas namun dihargai dengan harga yang tidak seimbang dari hasil jerih payahnya. Kemudian orang-orang yang diatas merasaa berkuasa merampas hak milik rakyat dengan cara korupsi dan sebagainya. Hal ini juga disinggung penulis dalam perkataan Musa yakni “Para pemimpin negerimu serakah.” Sehingga rakyat-rakyat kecil yang seharusnya mendapatkan dana subsidi justru semakin sengsara karena pemimpin yang korupsi. “Mereka telah menjarah kekayaan negeri untuk diri sendiri, keluarga, golongan, serta para cukongnya” ungkapan ini juga dapat dihubungkan dimana orag-orang besar membabat hutan demi keinginan mereka tanpa mempedulikan dampak yang akan terjadi. Namun hal ini juga bukan hanya kesalahan para penyokong tetapi juga salah Sulastri yang tetap tidak mau berusaha lebihkeras lagi dalam menghidupi keluarganya. Ia justru malah mengabdi pada suaminya yang jeas tidak dapat menghasilkan apa-apa selain bertapa.

Dengan jalan pikirnya yang instan, akhirnya sulastri pergi ke negeri Arab dengan jalur Ilegal. Hal ini dengan dalih untuk menghidupi anak-anaknya. Namun tetap pada saat ia samapi di negeri Arab pun kesengsaraan tetap menimpa Sulastri. Memang apapun yang ditanam apkan menghasilkan apa yang telah ditanam.

Berbagai jalan dan kesengsaraan dilalui oleh Sulastri ini menunjukkan bahwa manusia diciptakan untuk berani bertanggung jawab atas segala hal yang dilakukannya, mulai dari kebahagiaan yang ia dapat hingga kejayaan mereka sendiri. Kebahagiaan dan kejayaan seseornag tidak bergantung pada orang lain. Karena manusia berhak Bahagia tanpa menderita. Seorang wanita yang telah menikah memang harus tunduk dan taat terhadap suaminya, dengan catatan selama suaminya berbuat kebenaran makan patuhilah, namun jika suami sudah melenceng dari jalannya maka ingatkanlah tapi kalua peringatan itu tidak juga menyadarkan sang suami maka jangan mengikuti apa yang diikutinya. Hal ini dapat dilihat pada saat Markam terus-terusam bertapa, Sulastri tetap taat dan ikut mengunggu hasil bertapa suaminya. Seharusnya disini Sulastri lebih giat mencari nafkah tanpa bergantung pada sang suami dan terus mengingatkan suaminya sebab hal yang dilakukan suaminya adalah hal yang tidak baik.

Cerita pendek ini juga menunjukan bahwasannya manusia memiliki pemikiran untuk melakukan sebuah Tindakan. Seperti hal nya pada saat Sulastri ingin melompat ke Laut Merah, ada sosok polisi yang diangap ancaman oleh sulastri itu sebenarnya adalah sebuah pertolongan untuk Sulastri yang telah ditolak olehnya. Sulastri berpikiran tidak aka nada orang yang mau menolongnya pada waktu itu. Padahal, didepan matanya ada orang yang siap membantunya dengan ikhlas.

Beberapa pemaparan penulis tentang kehidupan Sulastri, digambarkan bahwa Sulastri berpikir bahwa ia selalu bertemu dengan lelaki yang tidak menghargai dirinya. Seperti hal nya suaminya yang tidak bertanggung jawab atas keluarganya. Suaminya membiarkan SUlastri dan anak-anaknya sengsara yang kemudian Sulastri memustuskan pergi ke negeri Arab untuk mendapatkan uang setelah melihat keadaan suaminya yang semakin hari kian mengabdi pada pertapaannya. Cara yang digunakan Sulastri saat pergi ke Negeri Arab dengan cara yang tidak baik atau haram. Hal ini dikatakan oleh Musa saat musa hendak menolongnya. Pada akhirnya Sulastri menyesal atas perbuatannya dan ingin Kembali ke Tanah Air. Sulastri tidak lagi percaya pada siapapun baik poilis, teman atau perantara untuk ke kedutaan. Sulastri tidak mempercayai hal-hal itu karena dia melihat teman-temannya diperlakukan sebagai barang dagangan oleh orang-orang perantara dimana teman temannya harus membayar mahal demi deportasi.

Firaun dalam cerita ini digambarkan sebagai akibat dari perbuatan Sulastri selama ini yang menghantuinya dan mengejarnya kemanapun Sulastri pergi. Firaun ini juga sebagai rasa bersalah Sulastri karena tidak berusaha semaksimal mungkin untuk keluarganya. Elain itu, Firaun disini juga digambarkan sebagai jalan terakhir bagi Sulastri dimana pada saat Sulastri ingin loncat ke Laut Merah, sama halnya seperti Sulastri memilih untuk menyerahkan dirinya pada hal buruk sehingga Firaun disini menganggap bahwa Sulastri bersedia menjadi budak karena Sulastri berniat menjatuhkan dirinya ke Laut Merah. Sedangkan Musa adalah gambaran dari pertolongan Tuhan yang siap membantu kapan un dan dimanapun hambanya berada dan dalam keadaan apapun. Hal ini membuktikan bahwa Tidak ada Tuhan yang rela melihat hambanya kesusahan dn hidup dalam kesengsaraan sehingga Tuhan akan selalu menolong hambanya yang meminta pertolongannya.

Melalui keseluruhan cerita Sulastri dan Empat lelaki karya M Shoim Anwar ini dapat diambil banyak sekali nilai-nilai positif bagi pembaca. Salah satunya adalah peringatan bagi kita sebagai manusia yang harus tetap berusaha sebaik mungkin untuk menjalankan hidup di jalan yang benar. Penulis juga menunjukkan pada pembaca bahwa karma itu ada. Karma ditunjukkan dalam bentuk apapun sehingga dapat menyadarkan manusia untuk terus berbuat baik dan tidak meninggalkan Tuhan.

Cerita pendek atau sebuah karya sastra pastilah memiliki kelebihan dan kekurangan, pada cerita Sulastri dan Empat Lelaki ini memiliki kelebihan dalam segi gaya bahasanya dimana kita seperti diajak menonton cuplikan hidup seseorang dengan memberikan sentuhan-sentuhan bahasa yang indah dan kreatif sehingga pembaca dengan nyaman membaca karya sastra ini. Selain itu, penulis menambahkan berbagai warna cerita di dalamnya sehingga seakan akan pembaca berada dalam cerita tersebut. Kelebih lainnya adalah dalam cerita ini, M. Shoim Anwar menyuguhkan banyak pesan moral yang dapat diambil dan dijadikan pelajaran bagi pembaca salah satunya adalah larangan menyekutukan Tuhan.

Kekurangan yang ada pada cerita pendek ini adalah ada beberapa penggunaan kata yang salah dalam penulisannya sehingga sedikit mengganggu pada saat pembaca menikmati cerita pendek Sulastri dan Empat Lelaki. Selain itu ada hal yang tidak dijelaskan secara detail yakni cara Sulastri pergi ke negeri Arab, mengapa dianggap menggunakan cara yang salah, sehingga membuat pertanyaan lagi bagi pembaca.

 

Sabtu, 17 April 2021

Berselancar dalam Cerpen "Di Jalan Jabar Al Kaabah karya M. Shoim Anwar"

 

Kali ini kita disuguhi cerpen dengan judul Di Jalan Jabar Al Kaabah karya M. Shoim Anwar. Cerpen ini memiliki penggambaran tempat dengan nyata yakni suasana tanah suci dimana Ketika kita membaca cerpen tersebut, kita seakan berada di Arab Saudi. Melalui cerpen tersebut, penulis ingin menyampaikan bahwa, di tanah suci pun tidak jauh berbeda dengan di Indonesia. Jika di Indonesia Ketika kita mengunjungi tempat ibadah, makan sunan dan lain-lain pasti akan ada orang-orang yang meminta minta atau biasa disebut dengan pengemis. Terkadang Ketika kita maelihat pengemis, kita dengan sendirinya akan merasa iba. Entah itu karena pakaian yang mereka kenakan, atau fisik yang mereka  perlihatkan kepada kita sehingga kita menunjukkan belas kasih kita kepada pengemis.

Di dalam cerpen Di Jalan Jabar Al Kaabah ini menceritakan tentang masyarakat yang hidup dengan pemikiran segala takdir ada di tangan Allah termasuk rezeki yang mereka dapat. Tidak dapat dipungkiri bahwa memang takdir dan rezeki ada di tangan Allah SWT namun apakah meminta-minta adalah jalan yang tepat untuk mendapatkan rezeki dari Allah? Setelah saya membaca cerpen tersebut saya memahami bahwa pemikiran masyarakat terkait hal tersebut itu kurang tepat. Para pengemis berpikir bahwa meminta minta adalah sesuatu yang halal karena termasuk dalam ibadah dengan mengaplikasikan “rezeki di tangan Allah”. Cerpen tersebut memiliki tokoh utama bernama tuan Amali. Tuan Amali ini berusaha memperbaiki pemikiran para pengemis dan pemberi. Seperti halnya pada saat diberikan permasalahan yakni pengemis yang ternyata berpura-pura cacat, Tuan Amali berusaha mengungkapkan hal tersebut kepada public namun upayanya gagal sebab ada pihak yang membela dengan mengatakan bahwa mengemis atau meminta-minta adalah hal para pengemis.

Penulis memberikan dua pandangan berbeda terhadap pengemis, yang pertama adalah Tuan Amali sebagai orang yang tidak dapat membenarkan cara menipu saat mengemis, yang kedua adalah seorang pria yang membela hak para pengemis. Sebenarnya jika diperhatikan ujaran mereka sama-sama ada benarnya. Namun menurut saya ujaran yang benar adalah menurut pandangan Tuan Amali. Karena apapun alasan mereka, meminta-minta tidak bisa dibenarkan sebagai ibadah mencari rezeki Allah. Apalagi dengan cara berpura-pura cacat padahal masih memiliki tubuh yang sehat dan lengkap. Hal ini menggambarkan bahwa mereka tidak bersyukur dan tidak mau berjuang keras untuk meraih rezeki Allah yang sesungguhnya.

Cerpen tersebut memberikan tamparan keras terhadap pembaca bahwasannya kita dapat melakukan berbagai kerja keras yang halal untuk meraih rezeki Allah tidak dengan menipu atau memanfaatkan belas kasih manusia. Dalam kehidupan masih banyak orang-orang yang malas bekerja walaupun sebenarnya memiliki kondisi fisik yang masih sehat sehingga mereka memilih jalan dengan memanfaatkan belas kasih masyarakat yakni dengan menjadi pengemis. Penulis juga memberikan pesan kepada kita untuk selalu ikhlas dalam memberikan sesuatu terhadap seseorang.

Menurut saya, cerpen Di Jalan Jabal Al-Kaabah karya M. Shoim Anwar ini memiliki daya Tarik yang menjunjug tinggi nilai agama yakni memahami betul makna dari “rezeki di tangan Allah”. Pembaca juga sejak awal diajak berpikir sesuai dengan realitas yang ada mengenai rezeki dari Tuhan. Kekurangan dalam cerpen ini, menurut saya kurang tepat pada penulisan kata “dengan” di awal kalimat selebihnya menjadi kelebihan darei cerpen ini yang berhasil membawa pembaca ikut serta merasakan suasana di Tanah Suci. Cerpen Di Jalan Jabal Al-Kaabah karya M. Shoim Anwar dapat diakses melalui: Cerpen Mingguan.... (adhidreamtoparis.blogspot.com)

Sabtu, 10 April 2021

Tentang Cerpen "Tahi Lalat" Karya M. Shoim Anwar

Cerpen "Tahi Lalat" 

Karya M. Shoim Anwar

Semua karya sastra mulai dari puisi hingga novel pasti memiliki daya Tarik masing-masing. Setiap penulis juga memiliki karakteristiknya masing-masing. Pada cerpen “Tahi Lalat” Karya M. Shoim Anwar ini memiliki latar belakang kehidupan di masyarakat. Cerpen ini lebih menojolkan gambaran mengenai masyarakat yang berada di pedesaan. Di dalam cerpen tersebut terdapat tokoh “Aku” dimana ia digambarkan sebagai sosok istri Lurah yang menginginkan kekuasaan. Beberapa warga di desa itu membuat sebuah omongan bahwasannya di dada istri Lurah itu terdapat sebuah tahi lalat. Hal ini membuat para lelaki di des aitu penasaran dengan omongan tersebut. Tidak hanya itu, istri Lurah juga dikabarkan sebagai perempuan yang kurang baik, hal ini dikarenakan bos proyek pembangunan di des aitu terlihat sering mendatangi istri Lurah pada saat Pak Lurah tidak ada di rumah.

Namun perkataan atau isu tidak semua benar. Masyarakat yang terlalu memandang sebelah mata saja, mereka tidak tau kebenaran yang ada dan hanya menganggap apa yang dilihat dan didengarlah yang benar. Isu tersebut semakin ramai karena bu lurah merupakan istri kedua dari Pak Lurah.

Di akhir cerpen pada saat tokoh “Aku” ini pulang ditunjukkan sebuah lukisan dengan gambar seorang perempuan berkulit sawo matang dengan tahi lalat yang ada di dada oleh anaknya. Tokoh “Aku” bterkejut sebab perempuan pada lukisan tersebut ternyata adalah istri pak Lurah, namun parahnya isu yang beredar itu sampai diketahui oleh anak kecil.

Di dalam cerpen “Tahi Lalat” ini istri lurah lebih banyak disorot ketimbang pak lurah. Padahal seharusnya pak lurah juga lebih disorot terkait kinerjanya sebagai penguasa atau pemimpin desa tersebut dimana ia masih sering ingkar janji dan menyalahgunakan kekuasaan yang dia punya. Sebagai pembaca saya memiliki pendapat bahwa cerita ini memiliki keanehan dimana, isu tentang istri lurah lebih diangkat dibandingkan dengan kinerja Pak Lurah selama ini yang lebih terlihat seperti sedang disembunyikan. Namun apapun rahasianya mau besar atau kecil pasti suatu saat akan terbongkar.

Cerpen “Tahi Lalat” ini membuat pembaca tertarik dikarenakan memiliki perumpamaan yang disuguhkan membuat pembaca semakin penasaran dengan isi cerpen. Cerpen “Tahi Lalat” ini memiliki kesinambungan dengan kehidupan masyarakat saat ini dimana, kebusukan atau ketidakbaikan seseorang lebih sering ditutupi dengan isu-isu yang belum tentu benar. Penyampaian pesan pada cerpen ini mudah dipahami karena penulis menggunakan bahasa yang ringan dan tidak berbelit serta terdapat symbol-simbol yang mudah dimengerti. Alur ceritanya runtun tidak berantakan membuat pembaca nyaman pada saat membaca cerpen tersebut. Kekurangan dari cerpen ini adalah, identitas tokoh yang terlalu samar sehingga membuat pembaca sedikit sulit memahami. Kelebihannya, penulis dapat mengemas pesan-pesan kecil menjadi sebuah cerita yang menarik .  

Jumat, 02 April 2021

Mengulas Sedikit tentang "Sisik Naga di Jari Manis Gus Usup" Karya M. Shoim Anwar

Sisik Naga di Jari Manis Gus Usup

 Karya M. Shoim Anwar

Gus Usup bukanlah orang biasa. Kami menghormatinya sebagaimana kami menghormati orang-orang terhormat. Penghormatan terhadap Gus Usup telah dilakukan para tetua sehingga tak ada alasan buat kami untuk tidak berlaku hormat padanya. Ketika dia melintas di jalan, orang-orang menyapanya dengan penuh rasa hormat, sedikit membungkukkan badan, menanyakan mau ke mana, hingga mempersilakan mampir ke rumah. Sebuah kehormatan luar biasa bila Gus Usup berkenan singgah dan menyeruput kopi yang kami suguhkan. Tentu saja ini jarang terjadi. Gus Usup menjawab sapaan kami dengan tersenyum sambil terus mengayuh sepedanya.

Assalamu’alaikum, Gus,” begitulah kami menyapa ketika beliau lewat. Salam itu dijawabnya dengan sopan pula.

“Mampir dulu, Gus.”

Inggih, terima kasih,” jawabnya lembut.

Gus Usup bukanlah orang sembarangan. Itulah pandangan kami selama ini. Karenanya kami sebagai orang biasa tidak pernah memperlakukannya secara sembarangan pula. Kami tidak pernah menggunjing tentangnya. Segala yang terkait dengan Gus Usup kami anggap sebagai sesuatu yang wajar. Tidak ada prasangka buruk sekecil biji zarah pun terhadap Gus Usup. Sikap dan pembicaraan para orang tua kami seakan memberi contoh bahwa begitulah yang harus kami lakukan terhadap Gus Usup, termasuk kepada saudaranya seperti Gus Man, Gus Mak, Gus Roz, dan Gus Zin. Kami memang memanggil dengan sapaan “gus” untuk laki-laki keluarga pondok. Di antara mereka itu hanya Gus Usup yang bergaul akrab dengan siapa saja.

Gus Usup terbilang tampan. Wajah dan kulitnya kuning bersih. Rambutnya selalu dipotong pendek. Karena tak pernah memakai kopiah, rambut bagian depan yang agak panjang terlihat ikal menggelombang. Alisnya cenderung tebal. Dia tak pernah memelihara kumis dan jenggot, tapi tepat di bagian bawah bibirnya terdapat rambut yang dibiarkan tumbuh hingga membentuk gerumbul yang manis di wajahnya. Sering dia mengangkat ujung sarung hingga sebatas dengkul saat berjalan. Bulu-bulu keriting kelihatan tumbuh lebat di kakinya yang kuning. Mungkin karena ketampanannya itulah Gus Usup menjadi anak kesayangan Bu Nyai.

“Sejak anak-anak, Gus Usup itu suka main dengan anak-anak kampung,” cerita Guk Mat sebagai teman sepermainannya.

“Apa kesukaannya, Guk?” kami bertanya.

“Menghanyutkan diri dengan rakit dari batang pisang, lalu mandi bersama-sama di Kali Dam sambil belajar renang gaya sungai,” lanjut Guk Mat sambil memperagakan renang gaya sungai. “Gus Usup juga suka mencari batu-batu kecil di dasar sungai.”

“Untuk apa batu?”

“Katanya itu batu akik.”

“Kalau ketahuan keluarga pondok, Gus Usup dimarahi apa nggak, Guk?”

Guk Mat tersenyum. Sepertinya dia memang punya kenangan masa kecil yang seru dengan Gus Usup.

“Ya, sering. Gus Man itu, kakaknya yang paling besar, sering mencarinya. Gus Usup diseret pulang kalau ketahuan mandi di sungai. Makanya kalau habis mandi Gus Usup nggak berani langsung pulang.”

“Kenapa, Guk?” kami makin ingin tahu.

“Kalau habis mandi di sungai mata pasti merah warnanya. Makanya kalau pulang harus nunggu lama sampai nggak merah lagi. Tapi itu dulu,” kata Guk Mat. “Sekarang Kali Dam sudah tercemar sampah dan limbah.”

Inilah satu kebiasaan lain Gus Usup. Kami hampir selalu melihat dia menggigit-gigit benda kecil semacam tusuk gigi hingga kedua rahangnya bergerak-gerak. Sering dia menggapai ranting-ranting kecil ketika berjalan, atau bagian-bagian tertentu dari pagar bambu di tepi jalan yang dilewatinya untuk digigit-gigit menggantikan yang telah habis di bibirnya. Mohon maaf kalau perumpamaan kami tidak tepat. Kesukaan Gus Usup menggigit-gigit lidi itu mirip kebiasaan burung labet yang hendak bersarang.

Seperti yang sering kami lihat, pagi itu tampak Gus Usup berjalan meniti pematang di jauh sana. Dia kembali pulang setelah semalam bermain kartu remi dengan orang-orang kampung di sebelah timur, di rumah Wak Parmin dekat kuburan. Rumah Gus Usup di lingkungan pondok dengan kampung kami memang dipisah oleh bentangan sawah. Kami tetap tahu meski dia berjalan sambil sarungnya diangkat hingga menutup kepala. Bila Gus Usup tidak pulang, Fadilah, keponakannya, sering mencari di pojok kampung tempat dia bermain kartu.

Meski umurnya terbilang lebih dari cukup, Gus Usup belum menikah. Guk Mat, teman sepermainan Gus Usup itu, sudah memiliki tiga orang anak. Tapi Gus Usup belum ada tanda-tanda mau menikah. Dulu kabarnya dia akan dijodohkan dengan Ning Sokhifah, anak Gus Bay dari pondok utara, tapi tak ada kelanjutannya. Justru Ning Sokhifah malah menikah dengan Gus Roz, adik Gus Usup dari ibu yang berbeda. Entah mengapa Gus Usup belum menikah, padahal kalau dia mau, tinggal memilih bidadari di kampung kami yang paling cantik pasti terkabul. Kami tahu hampir semua gadis di sini ingin jadi menantu keluarga pondok. Para gadis pun diam-diam berusaha menampakkan diri ketika Gus Usup yang tampan itu lewat. Tapi memang begitulah adanya. Keluarga pondok biasanya mengambil menantu juga dari keluarga pondok yang lain, meskipun antarmereka masih memiliki hubungan kerabat. Tapi sayang, hubungan antarpondok sekarang banyak yang kurang akrab karena para pengasuhnya terlibat dukung-mendukung partai politik yang berbeda. Mereka bahkan bersaing tidak sehat dalam pencalonan anggota parlemen maupun kepala daerah. Syukurlah hingga detik ini Gus Usup tidak termakan godaan partai politik hingga bisa bergaul dengan siapa saja.

Sebagai teman sepermainan Gus Usup, Guk Mat bekerja di pabrik gula. Tapi pekerjaan Gus Usup tidak terlalu jelas buat kami. Yang pasti Gus Usup rajin ke sawah, baik yang berada di belakang pondok maupun di sebelah utara kampung. Segala yang ditanam Gus Usup tumbuh dengan baik. Bila musim kemarau, tanaman terong, lombok, serta tomat berbuah dengan lebat. Saat malam, ketika kami berburu jangkrik sambil membawa obor, terong-terong itu sering kami curi untuk dimakan mentah-mentah, meski banyak juga di antara kami takut kalau terkena sesuatu setelah makan terong Gus Usup.

“Perutmu bisa mlembung kalau nyolong terong Gus Usup,” kata Guk Mat menakut-nakuti kami.

Seperti diceritakan oleh Guk Mat, dulu waktu mandi Gus Usup suka mencari batu akik di dasar sungai. Dan itulah yang paling menjadi perhatian bagi kami: cincin akik yang melingkar di jari manis Gus Usup. Batu akik sebesar ibu jari itu bermotif sisik naga, berwarna cokelat dengan ornamen seperti sisik yang saling menindih. Saat bermain kartu, terutama ketika malam menjelang ada orang hajatan di kampung, akik sisik naga Gus Usup itu hampir pasti menjadi pembicaraan. Dengan memakai akik itu konon Gus Usup tidak pernah kalah dalam bermain kartu. Kalau toh kalah dengan taruhan uang kecil-kecilan, kata orang itu sengaja mengalah demi menyenangkan lawan mainnya seperti Guk Mat, Guk Pin, Wak Parmin, Wak Rokemat, Kang Marsud, Kang Maskut, Kang Gangsar, Cak Kamal, Cak Nan, dan beberapa orang lainnya.

Mungkin karena sering mendengar cerita soal akik Gus Usup, tidak sedikit yang berusaha mendekat sambil menuding-nuding akik itu, terutama mereka yang berumur belasan tahun. Gus Usup hanya tersenyum sambil tetap bermain kartu remi di acara hajatan warga.

 “Kalau pegang kamu nggak bisa kencing dan berak,” kata Gus Usup.

 “Masak, Gus!?” Salah satu dari mereka, Dulah namanya, terjingkat.

 “Lo, beneran. Nggak bohong ini,” ujar Gus Usup kalem sambil tersenyum.

 “Demi Allah, Gus?”

 “Demi Allah,” Gus Usup manggut-manggut.

Mendengar jawaban Gus Usup tiba-tiba semuanya terdiam. Tergambar perasaan takut pada wajah mereka. Mereka agak menjauh. Tapi Dulah kembali nyeletuk, “Musyrik itu, Gus. Masak pegang aja nggak bisa kencing dan berak?”

“Kamu nggak percaya?” tanya Gus Usup sambil meletakkan sebuah kartu remi ke deretan di depannya.

“Masak?”

“Buktikan saja kalau berani,” Gus Usup tersenyum sambil mengulurkan lengan kirinya, sementara kartu reminya dipindah ke tangan kanan. “Kalau tidak terbukti nanti saya beri uang kamu.”

 “Saya berani, Gus. Bismillaahir rahmaanir rahiim.” Dulah pun menyentuhkan ujung telunjuknya ke akik Gus Usup, agak sedikit gemetar tapi berani.

 “Sudah?” tanya Gus Usup.

 “Sudah, Gus. Nggak apa-apa kan?”

 “Ayo, sambil memegang sekarang kamu kencing dan berak di sini!”

 “Wah ya nggak mau, Gus….”

 “Nggak bisa kan? Tadi saya bilang kalau pegang. Kalau ke WC berarti sudah tidak pegang.”

Semua yang hadir tertawa. Dulah cengar-cengir. Beberapa saat setelah itu giliran Gus Usup mengambil sebuah kartu remi yang tertumpuk di depannya, ditepuk-tepuk dulu punggung kartu itu dengan jemari yang dihiasi sisik naga, digeser, diletakkan di depannya, kemudian diintip pelan-pelan dari sudutnya.

Ngandang!” kata Gus Usup sambil membuka semua kartu di tangannya dengan cekatan, diletakkan di lantai. Benar, kali ini dia memenangkan permainan. Diraupnya uang recehan yang menumpuk di tengah karena sudah lima kali putaran belum ada yang memenangkan. Yang lain cuma manggut-manggut kecut. Dengan sigap Gus Usup kembali mengocok tumpukan kartu dan membagikan kepada para pemain.

“Sisik naga dilawan,” kata Cak Nan sambil meraih gelas kopi.

“Giliranku menang.” Wak Marsud menepuk-nepuk sisik naga di jari Gus Usup. Gus Usup hanya tersenyum.

“Habis recehan saya, Gus,” kata Guk Mat.

“Masih sore kok sudah habis,” Gus Usup menimpali. “Tukarkan!”

Semua yang bermain mengerti apa yang dimaksud Guk Mat. Mereka berharap Gus Usup membagikan kembali uang yang telah dimenangkan. Dan memang demikianlah. Mereka yang bermain dengan Gus Usup boleh dibilang tak pernah kalah atau merugi. Mungkin juga tak pernah benar-benar menang. Di akhir permainan, atau ketika lawannya sudah kehabisan uang, Gus Usup akan memberikan kembali uang itu. Mereka lama-lama merasa sungkan. Ketika Gus Usup kalah dan kehabisan uang, mereka pun memberikan kembali uang modal kepada Gus Usup. Akik sisik naga di jari manis Gus Usup akhirnya menjadi harapan mereka, karena kalau Gus Usup menang pasti uangnya akan dibagikan kembali.

Dulu, ketika kami belajar mengaji dan berlatih bela diri di pondok, akik sisik naga Gus Usup juga menjadi perhatian. Kami berlatih tenaga dalam. Untuk mengujinya, salah seorang di antara kami harus nyetrum, sejenis trans tapi masih dalam kesadaran utuh sebagai penyerang. Gus Usup dengan enaknya berkata kepada kami sambil meletakkan akik sisik naganya di lantai. Kami tahu, akik itu sudah diisi oleh Gus Usup dengan bacaan tertentu.

“Silakan nyetrum, datangkan semua kekuatan dan ambillah ini!”

Benar, kami semua terpental. Tak seorang pun yang berhasil mengambil akik itu meski seluruh tenaga dalam sudah kami datangkan saat nyetrum. Isian akik itu benar-benar berat. Gus Usup tak pernah membuka rahasianya. Entah ayat atau asmaul husna apa yang dibacakan. Kami makin hormat dengan Gus Usup.

Gus Usup sepertinya juga tahu walau tidak melihat. Ini terbukti saat kami salat berjamaah waktu belajar mengaji di pondok dahulu. Seperti biasa, kami yang waktu itu masih anak-anak suka bergurau, saling menggoda, tertawa cekikikan dan saling mendorong saat salat. Kami memang berada di saf atau baris paling belakang. Nah, begitu salam pertanda salat usai, tiba-tiba Gus Usup dari saf terdepan bangkit menghampiri kami. Mereka yang bergurau saat salat digebuki dengan sajadah. Gus Usup ternyata tahu persis siapa yang bergurau dan siapa yang tidak. Sejak itu kami tidak berani lagi bergurau saat salat, terutama kalau ada Gus Usup. Kadang-kadang di antara kami ada juga yang mbeling, berharap Gus Usup tidak ada sehingga bisa sedikit gurauan, saling mencubit dan dorong-dorongan ke samping waktu salat berjamaah. Bagi kami saat itu, salat berjamaah adalah saat yang tepat untuk usil dan menjahili teman. Karena itulah salah seorang teman yang mbeling, Muhdlor namanya, pernah diselentik kupingnya oleh Gus Usup dari belakang. Saat itu Muhdlor memasukkan pemukul kentongan ke sarung teman yang sedang sujud di depannya. Muhdlor tidak tahu kalau Gus Usup baru datang di belakangnya. Saat pulang dari mengaji Muhdlor kami kapok-kapokkan sepanjang perjalanan hingga dua hari dia tak berani ke pondok.

Uang recehan Guk Mat sudah benar-benar habis. Beberapa kali putaran dia tidak pernah memenangkan permainan kartu remi itu. Gayanya membanting kartu sudah tampak bahwa dia agak kesal karena belum pernah nyirik. Sementara dia melihat di depan Gus Usup uang recehan mengumpul sebagai bukti kemenangan. Tiba-tiba Gus Usup pamitan ke belakang. Dia minta permainan dilanjutkan saja. Hari memang semakin beranjak malam. Semua pemain juga sudah pernah pamit ke belakang untuk kencing. Dengan sedikit terburu-buru Gus Usup masuk kembali dan melemparkan jaketnya ke Guk Mat.

“Titip sebentar, biar tidak basah!” kata Gus Usup.

Jaket tentara warna hijau yang sudah memudar itu berada di pangkuan Guk Mat, baunya apak kayak karung karena mungkin sudah lama tak dicuci. Permainan berlangsung terus meski harus melangkahi giliran Gus Usup. Sampai satu putaran usai Gus Usup belum juga kembali. Entah mengapa kali ini lama. Dari tadi memang Gus Usup tampak kurang nyaman sambil memijit-mijit perutnya.

“Mumpung tak ada Gus Usup. Menang!” kata Guk Mat dengan yakin.

“Aku yang harus menang,” Cak Kamal menimpali.

“Jangan mulai dulu. Kita tunggu Gus Usup datang,” usul Cak Nan.

“Kan kita disuruh terus tadi?” Kang Marsud ingin berlanjut.

“Gak enak ah!” sergah Cak Nan.

“Lanjuuut…!” Guk Mat tak mau membuang-buang waktu. Kartu remi itu dikocok dengan cepat. Diletakkan di tengah, barangkali ada yang mau mengocok lagi karena tidak puas. Tidak ada. Guk Mat segera membagikan kartu itu satu per satu. Permainan pun berlanjut. Ketika semua asyik mencermati kartu, Gus Usup muncul dan pamitan pulang dengan terburu-buru. Tanpa menunggu tanggapan dia langsung pergi dengan mengucapkan satu kalimat pendek, “Perutku nggak enak.” Uang recehannya juga ditinggal.

Kepulangan Gus Usup membuat para pemain bersemangat untuk memenangkan. Cuaca malam makin dingin. Guk Mat baru tersadar bahwa jaket Gus Usup masih di pangkuannya. Tanpa berpikir panjang dia memakainya untuk menghangatkan badan. Kepulangan Gus Usup membuat peluang mereka untuk menang makin besar karena musuhnya berkurang satu orang. Kali ini benar-benar tampak serius di wajah mereka. Mata mereka melihat ke lantai ketika ada kartu yang dibanting. Setiap ada kesempatan mengambil kartu selalu dibarengi harapan agar bisa ngandang alias menang. Cara mereka membuka kartu juga sangat hati-hati, ditarik ke depannya dan diintip pelan-pelan dari pojok. Membuka kartu adalah membuka nasibnya sendiri. Tumpukan kartu di depan mereka juga makin menipis, seperti gundukan pasir yang makin lama makin tipis karena disapu angin.

“Nutup!” kata Guk Mat tiba-tiba, sembari membuka kartunya ke lantai. Uang recehan yang menumpuk di tengah itu disiriknya. Dia pun bergegas meraup kartu untuk dikocok ulang. Darah baru tampak merambat di wajahnya.

Tanpa kehadiran Gus Usup permainan bukan makin mengendor, tapi makin bersemangat. Hari makin malam dan masuk ke dini hari. Mereka tidak lagi bertaruh dengan recehan, uang kertas yang tadi hanya ngendon di saku kini keluar dengan warna-warninya. Permainan kali ini bukan sekadar cari hiburan atau menghabiskan waktu, tapi benar-benar mempertaruhkan nasib untuk meraih kemenangan. Putaran demi putaran berlangsung. Meski tidak sama kadarnya, rata-rata dari mereka sudah pernah memenangkan dari putaran-putaran sebelumnya. Lihatlah, uang-uang kertas tampak di depan mereka. Di depan Guk Mat tampak lebih banyak karena dia lebih sering nyirik. Recehan tidak lagi bermakna, bahkan disisihkan.

Tiap rentetan peristiwa pasti mencapai puncaknya. Titik kulminasi terjadi bukan tiba-tiba, tapi mengalir dengan pasti, seperti suhu pada tungku pembakaran yang mendidihkan air. Begitu juga permainan kartu kali ini. Mereka yang kehabisan modal telah tersingkir. Tidak ada lagi pembagian recehan seperti kalau bersama Gus Usup. Kopi-kopi di tempatnya sudah tinggal ampas dan memadat. Ayam berkokok sudah terdengar. Mungkin sebentar lagi beduk subuh ditabuh. Di arena permainan itu menyisakan tiga orang: Guk Mat, Cak Kamal, dan Kang Marsud. Mereka yang tersisih kini sebagai penonton saja. Sudah lima putaran belum ada yang memenangkan. Sementara tiap ganti putaran uang taruhan selalu ditambahkan.

“Sudah, ini yang terakhir!” kata Kang Marsud ketika memulai lagi permainan.

“Oke, yang terakhir. Ini semua!” Cak Kamal mendorong semua uangnya ke tengah. Tanpa sisa.

Mau tak mau semua harus menambah taruhan sebesar yang disodorkan Cak Kamal. Uang Kang Marsud ternyata tak cukup. Terpaksa harus ditambah dengan recehan yang tadi ditinggalkan Gus Usup di dekatnya.

“Pinjam, Gus,” kata Kang Marsud sambil menghitung recehan.

Inilah pertaruhan nasib di titik-titik akhir. Sudah tak ada lagi taruhan yang ditambahkan. Dompet-dompet sudah terkuras. Tampak mereka makin berkonsentrasi. Kartu yang dibawa juga makin rapat dirahasiakan agar tidak diintip oleh lawan. Cara mereka membanting kartu juga makin keras. Setiap kartu yang dibanting selalu diikuti oleh pandangan mereka. Selalu waswas, jangan-jangan kartu yang dicari sudah terbanting di arena. Mereka yang menonton juga berharap cemas. Ingin tahu siapa yang berhasil meraup uang yang menumpuk di tengah arena itu.

Seperti juga memancing. Ada debaran dan harapan agar ikan segera menggondolnya. Ikan itu kali ini tidak lain adalah kartu remi. Mata mereka makin membuka. Jantung mereka makin mendebar. Alir darah mereka juga makin menderas. Beberapa putaran kartu-kartu yang mereka buru juga belum ketemu. Sepertinya mereka saling mengetahui kartu-kartu yang diburu sehingga dicengkeram makin rapat. Waktu makin merambat dengan pasti. Kokok ayam makin kerap terdengar.

“Nah, ngandang!” kata Guk Mat dengan cepat. Semua kartu yang dipegangnya dibanting ke lantai dengan terbuka. Semua mata spontan ikut menatap. Benar! Guk Mat memenangkan permainan. Wajahnya tampak berbinar-binar. Darah segar sepertinya langsung menderas ke tubuhnya. Gunungan uang di tengah arena langsung diraupnya mendekat. Sementara Kang Marsud dan Cak Kamal melemas karena pertaruhan nasib semalam suntuk harus berakhir dengan pahit. Ketidakhadiran Gus Usup telah membuat dompetnya terkuras. Mereka berdua percaya, sebentar lagi istrinya ngomel-ngomel karena tak kebagian uang belanja. Permainan pagi itu pun bubar.

 Sesampai di rumah Guk Mat langsung masuk kamar. Uang yang tadi digembol dalam perut jaket segera dikeluarkan. Lembar demi lembar menggumpal dengan warna-warna campuran. Sekian banyak rupiah dari banyak orang telah mengumpul di tangan Guk Mat. Dia ingin menghitung cepat-cepat dan menyembunyikan agar tidak ketahuan istrinya.

Guk Mat teringat, di tengah permainan tadi dia juga sempat menyembunyikan uang kemenangan di saku jaket Gus Usup yang dipakainya. Uang itu segera dikeluarkan. Ah, jumlahnya makin banyak pula. Kantong saku jaket sebelah kiri telah dirogohnya. Kini dia berganti merogoh saku jaket sebelah kanan. Terasa ada benda aneh di tangannya. Segera dikeluarkan. Guk Mat terjingkat. Sisik naga! Akik Gus Usup itu ternyata ikut tertinggal di saku jaketnya. Entah ini disengaja atau tidak oleh Gus Usup. Mata Guk Mat tak berkedip melihatnya. Ada getaran di jemarinya.

 Tangan Guk Mat belum juga berubah. Akik sisik naga milik Gus Usup itu terus diperhatikan di kedua ujung jarinya. Dia mulai berpikir, apakah kemenangan terbesar yang diraupnya kali ini terkait dengan akik sisik naga di sakunya? Dia sadar bahwa benda itu milik Gus Usup, tapi lama-lama timbul keinginan pada diri Guk Mat untuk memiliki sisik naga itu. Guk Mat terpaku di atas dipan kamarnya. Uangnya masih menggelasah di tikar. Guk Mat menimbang-nimbang, cara apakah yang paling ampuh agar sisik naga itu terus berada di genggamannya?

Jombang-Surabaya, 2016

Pada pembahasan kali ini, kita akan mengulas tentang cerpen dengan judul “Sisik Naga di Jari Manis Gus Usup” karya M. Shoim Anwaryang telah menciptakan beberapa cerpen salah satunya adalah “Sepatu Jinjit Ariyanti”

Cerpen “Sisik Naga di Jari Manis Gus Usup” in imenceritakan tentang batu akik milik Gus Usup. Pada Ceira pendek ini menjelaskan bahwa kita harus menghargai orang lain, tidak perlu memanda status atau jabatan. Hal ini digambarkan pada bagian cerpen yaitu

Gus Usup bukanlah orang sembarangan. Itulah pandangan kami selama ini. Karenanya kami sebagai orang biasa tidak pernah memperlakukannya secara sembarangan pula.' Dari potongan narasi tersebut dapat disimpulkan bahwa Gus Usup merupakan seseorang yang memiliki status terhormat di wilayahnya sehingga beliau diperlakukan sesuai statusnya. Meskipun disanjung oleh masyarakat sekitar, Gus Usup tetap rendah hati dan masih mau bercengkrama dengan masyarakat sekitar bahkan untuk main kartu pun beliau bersedia.

 

Batu akik adalah sebuah batu berwarna yang sering dijadikan permata cincin. Batu Akik juga menjadi simbol yang terkadang juga dapat diartikan sebagai penyangkal penyakit. Pada ceerpen tersebut menjelaskan bahwa Batu Akik dapat menyangkal penyakit. Hal tersebut dijelaskan dalam cerita pendek bahwasannya penulis menyatakan bahwa Gus Usup sakit perut setelah ia menanggalkan jaketnya dan ternyata di dalam jaket tersebut terdapat Batu Akik Sisik Naga yang biasa melingkar di jari manis Gus Usup  Cerita ini mengajarkan kita untuk terus menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Hal ini terlihat pada kutipan cerpen berikut.

Gus Usup sepertinya juga tahu walau tidak melihat. Ini terbukti saat kami salat berjamaah waktu belajar mengaji di pondok dahulu. Seperti biasa, kami yang waktu itu masih anak-anak suka bergurau, saling menggoda, tertawa cekikikan dan saling mendorong saat salat. Kami memang berada di saf atau baris paling belakang. Nah, begitu salam pertanda salat usai, tiba-tiba Gus Usup dari saf terdepan bangkit menghampiri kami. Mereka yang bergurau saat salat digebuki dengan sajadah.

Gus Usup ternyata tahu persis siapa yang bergurau dan siapa yang tidak. Sejak itu kami tidak berani lagi bergurau saat salat, terutama kalau ada Gus Usup. Kadang-kadang di antara kami ada juga yang mbeling, berharap Gus Usup tidak ada sehingga bisa sedikit gurauan, saling mencubit dan dorong-dorongan ke samping waktu salat berjamaah. Bagi kami saat itu, salat berjamaah adalah saat yang tepat untuk usil dan menjahili teman. Karena itulah salah seorang teman yang mbeling, Muhdlor namanya, pernah diselentik kupingnya oleh Gus Usup dari belakang. Saat itu Muhdlor memasukkan pemukul kentongan ke sarung teman yang sedang sujud di depannya. Muhdlor tidak tahu kalau Gus Usup baru datang di belakangnya. Saat pulang dari mengaji Muhdlor kami kapok-kapokkan sepanjang perjalanan hingga dua hari dia tak berani ke pondok.

Cerita ini nyata adanya, dikarenakan masih banyak orang-orang yang ahli agama tetapi tetap rendah hati, tidak ingin dipuja-puja karen ia sama dengan orang lain, sama-sama ciptaan Allah. Namu demikian, masyarakat tetapp memanggilnya dengan sebutan Gus karena menghormati beliau dan menjalankan kehidupan sehari-hari dengan ibadah yang tekun. Dalam cerpen ini juga menggambarkan bahwa masih ada orang yang menginginkan sesuatu milik orang lain serta adanya masyarakat yang serakah dan licik di kehidupan kita ini

 


Dialetika Dalam Lima Cerpen Karya Shoim Anwar Sebagai Kritik Pemerintah di Masa Kini

       Mungkin akhir-akhir ini kita sering melihat berita-berita yang menyiarkan kabar mengenai kritik tajam terhadap pemerintah. Salah satu...