Rabu, 07 Juli 2021

Dialetika Dalam Lima Cerpen Karya Shoim Anwar Sebagai Kritik Pemerintah di Masa Kini

 

    Mungkin akhir-akhir ini kita sering melihat berita-berita yang menyiarkan kabar mengenai kritik tajam terhadap pemerintah. Salah satunya melalui media sosial Instagram dan Twitter. Ada satu berita yang sampai mendapat sorotan tajam dari Bapak Presiden Jokiw secara langsung. Hal tersebut terjadi bukan tanpa alasan, melainkan buntut dari protes yang dilayangkan oleh pengurus BEM UI pada Kamis, 1 Juni 2021. Pasalnya, BEM UI melayangkan kritikan pedas dengan mengunggah dan menyebarluaskan gambar Presiden Jokowi dengan tampilan layaknya seorang raja disertai dengan tulisan “King of Lips” yang berarti Raja Mulut. BEM UI menyayangkan atas sikap kepemimpinan rezim sekarang yang dinali tidak pro rakyat dan melupakan banyak sekali janji-janji sewaktu kampanye. Buntut dari kritik tersebut menuai banyak pro dan kontra. Banyak pendukung dari bapak Jokowi yang menilai sikap atau etika kritik para pengurus BEM UI yang dinilai kurang baik. Sedangkan masyarakat yang berkomentar pro, menilai hal ini merupakan Tindakan benar karena beraspirasi atau demo tidak pernah dihiarukan oleh pihak Istana Pemerintahan.

            Hal ini menjadi sorotan menarik bagi penulis, karena melalui sebuah karya, mereka dapat menarik perhatian baik masyarakat dan juga pemerintahan. Para elit politisi seperti Luhut menyayangkan tindakan dari pengurus BEM UI yang berkomentar dengan tidak beretika. Sedangkan Jokowi menilai bahwa karya tersebut merupakan bentuk kritikan namun tidak adanya sopan dan santun. Berbeda dari kedua orang tersebut, Presiden Jancukers, yakni Sujiwotejo seorang budayawan dan sastrawan, menilai dua orang tersebut memiliki prespektif yang kurang. Sujiwotejo menulis cuitannya di twitter yang mengatakan bahwa komentar dan kritik merupakan dua hal yang berbeda. Sedangkan di dalam kritik tidak perlu dinamakan sopan dan santun. Sujiwotejo juga menghubungkannya dengan cerita pewayangan Dewaruci dalam segi sopan dan santun.

            Nah, dalam kesempatan kali ini penulis ingin menilik kritikan yang sebenarnya telah lama ada. Menggunakan lima cerpen karya Shoim Anwar, penulis ingin mengurai bagaimana makna di dalam karya sastra yang tidak hanya memberikan gagasan, ide, dan cerita sebagai dunia rekaan. Melainkan ingin memungut dan menuai makna yang dapat menjadi kritikan bagi para penguasa di dunia nyata. Jelas hal ini merupakan dua  cara yang berbeda yang dilakukan BEM UI. Karya sastra telah terlebih dahulu menjadi kendaraan yang dapat menghantarkan makna kepada para pembaca dengan eksotis dan estetik. Karna karya sastra tidak hanya berbuah rekaan melainkan katarsis yang dapat memberikan penyucian terhadap diri pembacanya. Luxemburg (1984:56) mengatakan bahwa sastra juga membawa manfaat rohaniah. Sebab, dengan membaca sastra, pembaca memperoleh wawasan yang dalam tentang masalah manusiawi, sosial, maupun intelektual dengan cara yang khusus.

            Bagaiamana dialetika sang pengarang mampu sampai kepada para pembaca?. Hal tersebut dikarenakan dalam proses penciptaan karya sastra, pengarang tidak hanya merekam atas kondisi-kondisi sosial yang ada di dalam kehidupanya, melainkan pengarang juga menuangkan gagasan, ide, dan ideologinya. Hal tersebut menurut Plato dikatakan sebagai mimetik. Mimetik secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yang berarti meniru. Istilah tersebut sering digunakan dalam filsafat seni dan ilmu sastra. Dalam hal ini, mimesis mengandung pengertian seni meniru. Hassanudin (2004:512) mengatakan bahwa konsep ini pertama kali dirumuskan oleh Plato yang melihat dunia seni (khususnya seni Lukis dan pahat) sebagai peniru ide-ide melalui benda-benda yang tampak di dunia ini.

            Maka tidak heran apabila di dalam karya sastra, kita kerap menemui fenomena atau sesuatu hal yang sama persis di dunia. Melalui karya sastra, terutama cerpen yang merupakan cerita pendek dapat kita tuai maknanya untuk kita resapi dan menjadi penyucian di dunai nyata. Sastra tidak hanya indah melainkan bermanfaat seperti konsep Horatius “Dulce et Utile”. Sudah sejak lama, para sastrawan melalui karya sasra memberikan keritikan atas fenomena yang ia tangkap di dunia nyata. Pada gejolak era Angkatan 66 dimana muncul polemik dalam Gelanggang Seniman Merdeka.  Diantaranya berdiri lembaga kebudayaan yang kerapkali berseteru melali karya sastra seperti Lekra, Manifes kebudayaan, dan Lesbumi yang saling berseteru melalui karyanya. Berlanjut pada era 90an di masa revolusi terhadap baru melalui karya sastra berentuk puisi para sastrawan terkenal seperti WS. Rendr dan Wiji Tukul muncul guna memberikan kritikan pedasa bagi para penguasa.

            Kita akan melihat bagaimana dialetika Shoim Anwar di dalam cerpen-cerpennya. Cerpen-cerpen yang akan diulas yakni: “Sorot Mata Syaila”, “Tahi Lalat”, “Sepatu Jinjit Aryanti”, “Bambi dan Perempuan Berselendang Baby Blue”, serta “Jangan ke Istana, Anakku”. Kelima cerpen tersebut setalah dibaca dan diamati lebih dalam maka selaku pembaca kita akan menemukan kesaman. Dimana problematika yang diulas tidak lepas dari unsur politik. Hal ini yang nantinya menjadi dasar dalam menuai dialetika sang pengarang guna menangkap makna yang mampu menjadi kritik terhadap para penguasa.

            Cerpen pertama yakni “Sorot Mata Syaila”, cerpen tersebut berkisahkan pertemuan antara tokoh utama “aku” yang bernama Matalir dan seorang gadis perempuan bernama “Syaila”. Cerpen tersebut berlatar tempat di Bandara Abu Dhabi. Tokoh utama “Aku” dikisahkan sebagai seorang buronan lembaga korusi di Indonesia. Setelah perjalanannya untuk menunaikan ibadah haji, ia bermaksut untuk mengajak dua orang istri dan empat orang anaknya untuk kabur. Latar belakang sebagai seorang buronan Nampak pada kalimat berikut.

            “Alasan melaksanakan ibadah ke Tanah Suci dan Ziarah ke makam nabi-nabi sudah kulalui. Semua itu aku lakukan untuk memperlambat proses hukum sambal mencari trobosan lain, termasuk sengaja tidak hadir saat dipanggil untuk diperiksa penyidik”

            Dari kalimat tersebut kita sudah mengetahaui persoalan yang menyelimuti tokoh utama yakni Matalir. Ia berusaha untuk mangkir dari panggila penyidik dengan alasan menjalan ibadah ke tanah suci. Berikut kalimat lain yang membuktikan sifat buruk Matalir.

            “Dan benar, Ketika berita ramai tersiar bahwa aku dicekal, posisiku sudah di luar negeri. Inilah enaknya punya jaringan khusus di lembaga peradilan. Aku merasa sedikit betuntung kasusku ditangani mereka. Andani yang menangani KPK, mungkin aku sudah meringkuk di sel.”

            Terlihat dari dua kalimat pada cerpen tersebut bahwa Matalir bukan seorang pria biasa melainkan ia pejabat di pemerintahan Indonesia. Apabila kita Tarik garis relevansinya, problematika tersebut sama seperti fenomena kasus Setia Novanto”. Seorang mantan ketua DPR yang terjerat kasus korupsi. Meskipun ia terjerat kasus tersebut oleh KPK, ia dapat pelesiran kemanapun untuk lari dari panggilan penyidik. Tidak kaget, di Indonesia apabila kita menjadi pejabat kita mampu mempermainakn hukum yang ada asalkan kita memiliki harta dan tahta. Bahkan di kasus  Setya Novanto telah memasuki sell yang memiliki sgudang fasilitas mewah ibarat sebuah hotel bintang lima. Hal ini memiluka, tentu kita sebagai bangsa Indonesia merasa dikhianati dengan kasus tersebut. Terlebih lagi kita adalah bangsa yang menjunjung tinggi ideologi Pancasila, bahkan di sila kelima yang berbunyi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

            Cerpen kedua yakni “Tahi Lalat”. Cerpen yang mengisahkan mengenai penderitaan rakyat yang disebabkan oleh ulah lurahnya. Lurah tersebut kerapkali menjual tanah milik warganya terhadap bos proyek perumahan dengan cara memaksa dan diancam. Kabar tersebut menjadi desas-desus warga sekitar bahkan hingga adanya informasi bahwa di dada istri pak lurah terdapat tahi lalanya. Berikut fragmen yang menggambarkan bagaimana sikap buruk sang lurah dalam cerpen tersebut.

            “Jujur kukatakan, Pak Lurah juga sering menggunakan cara-cara kotor. Selama menjabat, tidak sedikit warga yang kehilangan sawah ladang dan berganti dengan perumahan mewah. Warga yang tinggal di tempat strategis, melalui perangkat desa Pak Bayan, dirayu untuk menjual tanahnya dengan harga yang lumayan mahal. Begitu tanah-tanah yang strategi situ terlepas dari pemiliknya, Pak Lurah semakin gencar membujuk yang lain dengan cara memanggilnya ke kantor kelurahan.”

            Dari fragment tersebut, kita dapat menegtahui bagaimana kelakuan buruk seorang pejabat, seperti halnya seorang Lurah. Segal acara pasti akan dilakukan oleh pejabat asalkan mendapatkan keuntungan pribadi. Tak jarang masyarakat yang diperdaya menjadi termarginalkan. Hal ini juga berada di dunia nyata, bagaimana seorang oknum perangkat desa terkena kasus jeratan korupsi. Seperti kasus yang menjerat perangkat desa di Situbondo yang terkena OTT (Oprasi Tangkap Tangan) atas pungli akta jual beli tanah.  Hal ini menjadi tamparan keras bagi pemerintah bahwa untuk lebih adil dan slektif dalam memilih para pejabat, terumata dalam menegakan hukum.

            Sekaliber Lurah pun dapat melakukan tindak kejahatan yang dapat merugikan rakyatnya dengan memanfaatkan jabatan dan kewenanganya. Melalui sastra kita mampu melihat realitas yang selama ini terselubung dan hanya mencuat apabila terungnkap. Hal ini karena karya sastra memiliki kases sosial yang secarapotensial memungkinkan pengarang untuk menggulirkan gagasannya kepada khalayak demi perubahan sosial-budaya kea rah yang lebih baik.

            Cerpen selanjutnya yakni “Sepatu Jinjit Aryanti” dan “Bambi dan Perempuan Berselendang Baby Blue”. Dua cerpen tersebut juga mengulas mengenai permasalahan yang tidak luput dari jerat pejabat pemerintahan. Pada cerpen “Sepatu Jinjit Aryanti” menceritakan mengenai tokoh “Aku” dan seorang perempuan yang bernama “Aryanti” sedang berada di Hotel Singapura. Mereka bersembunyi dari kejaran para oknum bayaran pejabat. Hal ini diakrenakan Aryanti merupakan kunci dari kasus pembunuhan seorang pria yang merupakan petinggi pemerintahan. Sedangkan pada cerpen Bambi dan Perempuan berselendang Baby Bleu” menceritaka seorang perempuan yang menagih janji seorang hakim pria bernama Bambi. Cerpen berjudul Bambi dan perempuan Berselendang Baby Blue menggunakan tokoh utama seorang perempuan bernama Anik. Konflik terjadi Ketika tokoh utama “Anik” menemui dan menahan “Bambi” di depan toilet pria. Tokoh Anik bermaksud untuk menagih janji Bambi sewaktu dipersidangan ia dimenangkan. Namun Bambi selaku hakim tunggal dipanggadilan justru berkhianat. Anik mamasuki problematika hukum karena adanya iming-iming menang oleh Bambi.

            Dalam dua cerpen tersebut, meberikan kita gambaran bagaimana seorang pejabat pemerintahan dapat memberikan wewenangnya demi keuntungan pribadiya Dalam fragmen Cerpen Sepatu Jinjit Aryanti berikut kita dapat mengetahui bahwa pejabat juga memiliki oknum pengamanan yang dapat melindunginya dan membersihakn nama baiknya meskipun dengan cara paling kotor yakni membunuh.

            “Aku mendapat perintah untuk “menyembunyikan” Aryanti dengan berbagai cara karena dia adalah saksi mahkota terkait kasus pembunuhan orang penting yang direncanakan. Sengaja kata itu digunakan dan aku harus menerjemahkannya sendiri. Ambigum tapi sudah menjadi kelaziman agar pemberi perintah dapat berkelit Ketika terjadi hal yang tidak dikehendaki”.

            Situasi tersebut sedikit mengingatkan menganai kasus Novel Baswedan yang merupakan anggota dari KPK. Ia mendapatkan terror dengan di siram air keras di wajahnya. Niat pelaku penyiraman tersebut yakni untuk melumpuhkan korban, justru Novel Baswedan hanya terkena di bagian matanya saja. Namun hal yang paling mencenangkan adalah pelaku penyiraman seakan dibuat sekenario, dan motif pelaku dalam penyiraman juga tidak masuk akal hanya beralasan dendam pribadi. Banyak media yang menyorot kasus tersebut termasuk sampai menyelediki sebagaimana keahlian para pelaku yang tidak terkam kamera dan dapat menghafal rute perumahan tempat kediaman Novel Basewedan.

            Sedangkan dalam cerpen Bambi dan Perempuan Berselendang Baby Blu” mmengisyarkatan mengenai permainan kotor di lembaga peradilan hukum Sudah bukan hal yang tabuh bahwa di dalam proses peradilan hukum siapa yang lebih berkuasa dan kaya pasti akan menang. Sehingga muncul selogan bahwa “hukum tumpul ke atas dan tajam di bawah” yang memiliki bawha hukum tumpul bagi para penguasa tapi sangat tajam dan menjerat bagi rakyat.

            Pada cerpen “Jangan Ke Istana, Anakku” merupakan cerpen yang memiliki sindirian keras terhadap sebuah istana penguasa. Hal ini di manifestasikan dari istana para pejabat. Dalam cerpen tersebut, menceritakan bagaimana kesewenang-wenangan penguasa dalam melakukan tindakan termasuk dalam mengambil para gadis cantik untuk menjadi tumbal bagi Nyi Blorong sewaktu malam Rabu Kliwon. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa para penguasa yang berada di istana memiliki kesewang-wenangan dalam menciptakan aturan.

            Apabila dihubungkan dengan kondisi sekrang, interpretasi saya tertuju pada fenomena covid 19 yang merajarela di dunia. Mengenai bagaimana pemerintah memberikan kebijakan yang tumpeng tindih dalam menangani covid-19. Fenomena terbaru yang sedang trending di tahun 2021 yakni mengenai kebijakan pemerintah yang memberlakukan PPKM mulai pukul 17.00 sedangkan TKA dari Cina diperbolehkan dating ke Indonesia dan bandara-bandarapun dibuka.

            Pada akhirnya, melalui karya sastra kita dapat menuai makna yang terkandung selain untuk menjadi sebuah perenungan dalam menyikapi gejala yag hadir di kehidupan nyata, karya sastra mampu memberikan kritikan sosial bagi pemerintah atau oknum pejabat. Kritik sosial dalam karya sastra adalah salah satu bentuk komunikasi dalam masyarakat yang bertujuan sebagai control terhadap jalannya suatu system sosial atau proses bermasyarakat. Sehingga sastra dipandang paling ampuh dalam melakukan kritik sosial terhadap kekuasaan dan sebuah tatanan yang menyimpan dari kelaziman.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Anwar Shoim. 2017 Sejarah Sastra Indonesia. Sidoarjo. Media Ilmu

Hasanuddin, W.s. (Ed). 2004. Ensiklopedia Kesusastraan. Bandung. Titian Ilmu

Luxermburg, J.V, Mieke. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta. Gramedia

Teeuw. A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Bandung. PT. Dunia Pustaka Jaya.

Dialetika Dalam Lima Cerpen Karya Shoim Anwar Sebagai Kritik Pemerintah di Masa Kini

       Mungkin akhir-akhir ini kita sering melihat berita-berita yang menyiarkan kabar mengenai kritik tajam terhadap pemerintah. Salah satu...