Mungkin
akhir-akhir ini kita sering melihat berita-berita yang menyiarkan kabar
mengenai kritik tajam terhadap pemerintah. Salah satunya melalui media sosial
Instagram dan Twitter. Ada satu berita yang sampai mendapat sorotan tajam dari
Bapak Presiden Jokiw secara langsung. Hal tersebut terjadi bukan tanpa alasan,
melainkan buntut dari protes yang dilayangkan oleh pengurus BEM UI pada Kamis,
1 Juni 2021. Pasalnya, BEM UI melayangkan kritikan pedas dengan mengunggah dan
menyebarluaskan gambar Presiden Jokowi dengan tampilan layaknya seorang raja
disertai dengan tulisan “King of Lips” yang berarti Raja Mulut. BEM UI
menyayangkan atas sikap kepemimpinan rezim sekarang yang dinali tidak pro
rakyat dan melupakan banyak sekali janji-janji sewaktu kampanye. Buntut dari
kritik tersebut menuai banyak pro dan kontra. Banyak pendukung dari bapak
Jokowi yang menilai sikap atau etika kritik para pengurus BEM UI yang dinilai
kurang baik. Sedangkan masyarakat yang berkomentar pro, menilai hal ini
merupakan Tindakan benar karena beraspirasi atau demo tidak pernah dihiarukan
oleh pihak Istana Pemerintahan.
Hal ini menjadi sorotan menarik bagi
penulis, karena melalui sebuah karya, mereka dapat menarik perhatian baik
masyarakat dan juga pemerintahan. Para elit politisi seperti Luhut menyayangkan
tindakan dari pengurus BEM UI yang berkomentar dengan tidak beretika. Sedangkan
Jokowi menilai bahwa karya tersebut merupakan bentuk kritikan namun tidak
adanya sopan dan santun. Berbeda dari kedua orang tersebut, Presiden Jancukers,
yakni Sujiwotejo seorang budayawan dan sastrawan, menilai dua orang tersebut
memiliki prespektif yang kurang. Sujiwotejo menulis cuitannya di twitter yang
mengatakan bahwa komentar dan kritik merupakan dua hal yang berbeda. Sedangkan
di dalam kritik tidak perlu dinamakan sopan dan santun. Sujiwotejo juga
menghubungkannya dengan cerita pewayangan Dewaruci dalam segi sopan dan santun.
Nah, dalam kesempatan kali ini
penulis ingin menilik kritikan yang sebenarnya telah lama ada. Menggunakan lima
cerpen karya Shoim Anwar, penulis ingin mengurai bagaimana makna di dalam karya
sastra yang tidak hanya memberikan gagasan, ide, dan cerita sebagai dunia
rekaan. Melainkan ingin memungut dan menuai makna yang dapat menjadi kritikan
bagi para penguasa di dunia nyata. Jelas hal ini merupakan dua cara yang berbeda yang dilakukan BEM UI.
Karya sastra telah terlebih dahulu menjadi kendaraan yang dapat menghantarkan
makna kepada para pembaca dengan eksotis dan estetik. Karna karya sastra tidak
hanya berbuah rekaan melainkan katarsis yang dapat memberikan penyucian
terhadap diri pembacanya. Luxemburg (1984:56) mengatakan bahwa sastra juga
membawa manfaat rohaniah. Sebab, dengan membaca sastra, pembaca memperoleh
wawasan yang dalam tentang masalah manusiawi, sosial, maupun intelektual dengan
cara yang khusus.
Bagaiamana dialetika sang pengarang
mampu sampai kepada para pembaca?. Hal tersebut dikarenakan dalam proses
penciptaan karya sastra, pengarang tidak hanya merekam atas kondisi-kondisi
sosial yang ada di dalam kehidupanya, melainkan pengarang juga menuangkan
gagasan, ide, dan ideologinya. Hal tersebut menurut Plato dikatakan sebagai
mimetik. Mimetik secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yang berarti
meniru. Istilah tersebut sering digunakan dalam filsafat seni dan ilmu sastra.
Dalam hal ini, mimesis mengandung pengertian seni meniru. Hassanudin (2004:512)
mengatakan bahwa konsep ini pertama kali dirumuskan oleh Plato yang melihat
dunia seni (khususnya seni Lukis dan pahat) sebagai peniru ide-ide melalui
benda-benda yang tampak di dunia ini.
Maka tidak heran apabila di dalam
karya sastra, kita kerap menemui fenomena atau sesuatu hal yang sama persis di
dunia. Melalui karya sastra, terutama cerpen yang merupakan cerita pendek dapat
kita tuai maknanya untuk kita resapi dan menjadi penyucian di dunai nyata.
Sastra tidak hanya indah melainkan bermanfaat seperti konsep Horatius “Dulce
et Utile”. Sudah sejak lama, para sastrawan melalui karya sasra memberikan
keritikan atas fenomena yang ia tangkap di dunia nyata. Pada gejolak era
Angkatan 66 dimana muncul polemik dalam Gelanggang Seniman Merdeka. Diantaranya berdiri lembaga kebudayaan yang
kerapkali berseteru melali karya sastra seperti Lekra, Manifes kebudayaan, dan
Lesbumi yang saling berseteru melalui karyanya. Berlanjut pada era 90an di masa
revolusi terhadap baru melalui karya sastra berentuk puisi para sastrawan
terkenal seperti WS. Rendr dan Wiji Tukul muncul guna memberikan kritikan
pedasa bagi para penguasa.
Kita akan melihat bagaimana
dialetika Shoim Anwar di dalam cerpen-cerpennya. Cerpen-cerpen yang akan diulas
yakni: “Sorot Mata Syaila”, “Tahi Lalat”, “Sepatu Jinjit Aryanti”, “Bambi dan
Perempuan Berselendang Baby Blue”, serta “Jangan ke Istana, Anakku”. Kelima
cerpen tersebut setalah dibaca dan diamati lebih dalam maka selaku pembaca kita
akan menemukan kesaman. Dimana problematika yang diulas tidak lepas dari unsur
politik. Hal ini yang nantinya menjadi dasar dalam menuai dialetika sang
pengarang guna menangkap makna yang mampu menjadi kritik terhadap para
penguasa.
Cerpen pertama yakni “Sorot Mata
Syaila”, cerpen tersebut berkisahkan pertemuan antara tokoh utama “aku” yang
bernama Matalir dan seorang gadis perempuan bernama “Syaila”. Cerpen tersebut
berlatar tempat di Bandara Abu Dhabi. Tokoh utama “Aku” dikisahkan sebagai
seorang buronan lembaga korusi di Indonesia. Setelah perjalanannya untuk
menunaikan ibadah haji, ia bermaksut untuk mengajak dua orang istri dan empat
orang anaknya untuk kabur. Latar belakang sebagai seorang buronan Nampak pada
kalimat berikut.
“Alasan melaksanakan ibadah ke Tanah
Suci dan Ziarah ke makam nabi-nabi sudah kulalui. Semua itu aku lakukan untuk
memperlambat proses hukum sambal mencari trobosan lain, termasuk sengaja tidak
hadir saat dipanggil untuk diperiksa penyidik”
Dari kalimat tersebut kita sudah mengetahaui
persoalan yang menyelimuti tokoh utama yakni Matalir. Ia berusaha untuk mangkir
dari panggila penyidik dengan alasan menjalan ibadah ke tanah suci. Berikut
kalimat lain yang membuktikan sifat buruk Matalir.
“Dan benar, Ketika berita ramai
tersiar bahwa aku dicekal, posisiku sudah di luar negeri. Inilah enaknya punya
jaringan khusus di lembaga peradilan. Aku merasa sedikit betuntung kasusku
ditangani mereka. Andani yang menangani KPK, mungkin aku sudah meringkuk di
sel.”
Terlihat dari dua kalimat pada
cerpen tersebut bahwa Matalir bukan seorang pria biasa melainkan ia pejabat di
pemerintahan Indonesia. Apabila kita Tarik garis relevansinya, problematika
tersebut sama seperti fenomena kasus Setia Novanto”. Seorang mantan ketua DPR
yang terjerat kasus korupsi. Meskipun ia terjerat kasus tersebut oleh KPK, ia
dapat pelesiran kemanapun untuk lari dari panggilan penyidik. Tidak kaget, di
Indonesia apabila kita menjadi pejabat kita mampu mempermainakn hukum yang ada
asalkan kita memiliki harta dan tahta. Bahkan di kasus Setya Novanto telah memasuki sell yang
memiliki sgudang fasilitas mewah ibarat sebuah hotel bintang lima. Hal ini
memiluka, tentu kita sebagai bangsa Indonesia merasa dikhianati dengan kasus
tersebut. Terlebih lagi kita adalah bangsa yang menjunjung tinggi ideologi
Pancasila, bahkan di sila kelima yang berbunyi “keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia”.
Cerpen kedua yakni “Tahi Lalat”.
Cerpen yang mengisahkan mengenai penderitaan rakyat yang disebabkan oleh ulah
lurahnya. Lurah tersebut kerapkali menjual tanah milik warganya terhadap bos
proyek perumahan dengan cara memaksa dan diancam. Kabar tersebut menjadi
desas-desus warga sekitar bahkan hingga adanya informasi bahwa di dada istri
pak lurah terdapat tahi lalanya. Berikut fragmen yang menggambarkan bagaimana
sikap buruk sang lurah dalam cerpen tersebut.
“Jujur kukatakan, Pak Lurah juga
sering menggunakan cara-cara kotor. Selama menjabat, tidak sedikit warga yang
kehilangan sawah ladang dan berganti dengan perumahan mewah. Warga yang tinggal
di tempat strategis, melalui perangkat desa Pak Bayan, dirayu untuk menjual
tanahnya dengan harga yang lumayan mahal. Begitu tanah-tanah yang strategi situ
terlepas dari pemiliknya, Pak Lurah semakin gencar membujuk yang lain dengan
cara memanggilnya ke kantor kelurahan.”
Dari fragment tersebut, kita dapat
menegtahui bagaimana kelakuan buruk seorang pejabat, seperti halnya seorang
Lurah. Segal acara pasti akan dilakukan oleh pejabat asalkan mendapatkan
keuntungan pribadi. Tak jarang masyarakat yang diperdaya menjadi
termarginalkan. Hal ini juga berada di dunia nyata, bagaimana seorang oknum
perangkat desa terkena kasus jeratan korupsi. Seperti kasus yang menjerat
perangkat desa di Situbondo yang terkena OTT (Oprasi Tangkap Tangan) atas
pungli akta jual beli tanah. Hal ini
menjadi tamparan keras bagi pemerintah bahwa untuk lebih adil dan slektif dalam
memilih para pejabat, terumata dalam menegakan hukum.
Sekaliber Lurah pun dapat melakukan
tindak kejahatan yang dapat merugikan rakyatnya dengan memanfaatkan jabatan dan
kewenanganya. Melalui sastra kita mampu melihat realitas yang selama ini
terselubung dan hanya mencuat apabila terungnkap. Hal ini karena karya sastra
memiliki kases sosial yang secarapotensial memungkinkan pengarang untuk menggulirkan
gagasannya kepada khalayak demi perubahan sosial-budaya kea rah yang lebih
baik.
Cerpen selanjutnya yakni “Sepatu
Jinjit Aryanti” dan “Bambi dan Perempuan Berselendang Baby Blue”. Dua cerpen
tersebut juga mengulas mengenai permasalahan yang tidak luput dari jerat
pejabat pemerintahan. Pada cerpen “Sepatu Jinjit Aryanti” menceritakan mengenai
tokoh “Aku” dan seorang perempuan yang bernama “Aryanti” sedang berada di Hotel
Singapura. Mereka bersembunyi dari kejaran para oknum bayaran pejabat. Hal ini
diakrenakan Aryanti merupakan kunci dari kasus pembunuhan seorang pria yang
merupakan petinggi pemerintahan. Sedangkan pada cerpen Bambi dan Perempuan
berselendang Baby Bleu” menceritaka seorang perempuan yang menagih janji
seorang hakim pria bernama Bambi. Cerpen berjudul Bambi dan perempuan
Berselendang Baby Blue menggunakan tokoh utama seorang perempuan bernama Anik.
Konflik terjadi Ketika tokoh utama “Anik” menemui dan menahan “Bambi” di depan
toilet pria. Tokoh Anik bermaksud untuk menagih janji Bambi sewaktu
dipersidangan ia dimenangkan. Namun Bambi selaku hakim tunggal dipanggadilan
justru berkhianat. Anik mamasuki problematika hukum karena adanya iming-iming
menang oleh Bambi.
Dalam dua cerpen tersebut, meberikan
kita gambaran bagaimana seorang pejabat pemerintahan dapat memberikan
wewenangnya demi keuntungan pribadiya Dalam fragmen Cerpen Sepatu Jinjit
Aryanti berikut kita dapat mengetahui bahwa pejabat juga memiliki oknum
pengamanan yang dapat melindunginya dan membersihakn nama baiknya meskipun
dengan cara paling kotor yakni membunuh.
“Aku mendapat perintah untuk
“menyembunyikan” Aryanti dengan berbagai cara karena dia adalah saksi mahkota
terkait kasus pembunuhan orang penting yang direncanakan. Sengaja kata itu
digunakan dan aku harus menerjemahkannya sendiri. Ambigum tapi sudah menjadi
kelaziman agar pemberi perintah dapat berkelit Ketika terjadi hal yang tidak
dikehendaki”.
Situasi tersebut sedikit
mengingatkan menganai kasus Novel Baswedan yang merupakan anggota dari KPK. Ia
mendapatkan terror dengan di siram air keras di wajahnya. Niat pelaku
penyiraman tersebut yakni untuk melumpuhkan korban, justru Novel Baswedan hanya
terkena di bagian matanya saja. Namun hal yang paling mencenangkan adalah
pelaku penyiraman seakan dibuat sekenario, dan motif pelaku dalam penyiraman
juga tidak masuk akal hanya beralasan dendam pribadi. Banyak media yang
menyorot kasus tersebut termasuk sampai menyelediki sebagaimana keahlian para
pelaku yang tidak terkam kamera dan dapat menghafal rute perumahan tempat
kediaman Novel Basewedan.
Sedangkan dalam cerpen Bambi dan
Perempuan Berselendang Baby Blu” mmengisyarkatan mengenai permainan kotor di
lembaga peradilan hukum Sudah bukan hal yang tabuh bahwa di dalam proses
peradilan hukum siapa yang lebih berkuasa dan kaya pasti akan menang. Sehingga
muncul selogan bahwa “hukum tumpul ke atas dan tajam di bawah” yang memiliki
bawha hukum tumpul bagi para penguasa tapi sangat tajam dan menjerat bagi
rakyat.
Pada cerpen “Jangan Ke Istana,
Anakku” merupakan cerpen yang memiliki sindirian keras terhadap sebuah istana
penguasa. Hal ini di manifestasikan dari istana para pejabat. Dalam cerpen
tersebut, menceritakan bagaimana kesewenang-wenangan penguasa dalam melakukan
tindakan termasuk dalam mengambil para gadis cantik untuk menjadi tumbal bagi
Nyi Blorong sewaktu malam Rabu Kliwon. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa para
penguasa yang berada di istana memiliki kesewang-wenangan dalam menciptakan
aturan.
Apabila dihubungkan dengan kondisi
sekrang, interpretasi saya tertuju pada fenomena covid 19 yang merajarela di
dunia. Mengenai bagaimana pemerintah memberikan kebijakan yang tumpeng tindih
dalam menangani covid-19. Fenomena terbaru yang sedang trending di tahun 2021
yakni mengenai kebijakan pemerintah yang memberlakukan PPKM mulai pukul 17.00
sedangkan TKA dari Cina diperbolehkan dating ke Indonesia dan bandara-bandarapun
dibuka.
Pada akhirnya, melalui karya sastra
kita dapat menuai makna yang terkandung selain untuk menjadi sebuah perenungan
dalam menyikapi gejala yag hadir di kehidupan nyata, karya sastra mampu
memberikan kritikan sosial bagi pemerintah atau oknum pejabat. Kritik sosial
dalam karya sastra adalah salah satu bentuk komunikasi dalam masyarakat yang
bertujuan sebagai control terhadap jalannya suatu system sosial atau proses
bermasyarakat. Sehingga sastra dipandang paling ampuh dalam melakukan kritik sosial
terhadap kekuasaan dan sebuah tatanan yang menyimpan dari kelaziman.
DAFTAR
PUSTAKA
Anwar Shoim. 2017 Sejarah
Sastra Indonesia. Sidoarjo. Media Ilmu
Hasanuddin, W.s.
(Ed). 2004. Ensiklopedia Kesusastraan. Bandung. Titian Ilmu
Luxermburg, J.V,
Mieke. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta. Gramedia
Teeuw.
A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Bandung. PT. Dunia Pustaka Jaya.