Rabu, 16 Juni 2021

Menyelami Puisi "Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia KaryaTuafil Ismail

 

    Sebuah karya sastra tidak hanya dijadikan sebagai sarana hiburan namun juga dijadikan sebagai perantara seseorang dalam mengkritik sesuatu. Puisi dikenal sebagai imajinasi yang ingin diungkapkan oleh penulis yang dikemas menjadi suatu hal yang indah dengan gaya Bahasa yang beragam. Pada kesempatan kali ini penulis ingin membahas mengenai salah satu puisi yang ditulis oleh Taufiq Ismail dalam antologi ouisi dengan judul “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia”. Nama Taufiq Ismail telah dikenal oleh para penggemar sastra.

    Di dalam puisi “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia” Taufiq Ismail memberikan banyak pesan yang terkait akan kritik mengenai kehidupan social di Indonesia. Permasalahan yang dipaparkan oleh Taufiq Ismail yaitu birokrasi, kecurangan bisnis, jual beli hukum dan kecurangan politik. Di dalam puisi tersebut, taufiq seakan akan ingin menunjukkan kesedihannya kemirisannya negeri Indonesia tidak hanya miris akan tingkat masyarakat kecil, namun juga pada masyarakat atas. Bahasa yang digunakan oleh Taufiq Ismail adalah Bahasa yang lugas dan terkesan menyindir.

    Dapat kita lihat pada puisi tersebut, Taufiq Ismail ingin meningkatkan kepada kita untuk menjadi lebih baik lagi agar bangs akita berubah menjadi bangsa yang berkualitas. Sudah terlihat pada judul puisinya, bahwasannya penulis merasa malu akan bangsa yang memiliki keburukan dalam bisnis politik bahkan birokrasi. Namun, Taufiq juga sempat menggambarkan kebanggaannya terhadap bangsa Indonesia di awal Indonesia merdeka pada bab I.

I

Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga

Ke Wisconsin aku dapat beasiswa

Sembilan belas lima enam itulah tahunnya

Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia

 

Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia

Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda

Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,

Whitefish Bay kampung asalnya

Kagum dia pada revolusi Indonesia

 

 

Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya

Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama

Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya

Dadaku busung jadi anak Indonesia

 

 

Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy

Dan mendapat Ph.D. dari Rice University

Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army

Dulu dadaku tegap bila aku berdiri

Mengapa sering benar aku merunduk kini

 

    Pada Bab berikutnya, Taufiq mulai menunjukkan kekecewaannya dan rasa malunya terhadap bangsa Indonesia. Ia mengatakan bahwasannya Indonesia memiliki hukum yang tak beraturan. Kemudian pada bab ke III Taufiq Ismail menuliskan berbagai perilaku yang tidak dapat dibenarkan. Bebrapa perilakunya diceritakan bahwa tidak ada kesempatan bagi masyarakat dalam menyuarakan aspirasinya baik dari para ulama, wartawan yang menyampaiakn berita bahkan hingga keputusan di pengadilan. Dari beberapa perilaku dan kejadian yang digambarkan pada puisi dalam bait III adalah tidak sedikit fakta memalukan dari bangsa kita.

II

Langit langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak

Hukum tak tegak, doyong berderak-derak

Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,

Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza

Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia

Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata

Dan kubenamkan topi baret di kepala

Malu aku jadi orang Indonesia.

 

III

Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor

satu,

 

Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang

curang susah dicari tandingan,

 

Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu

dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek secara

hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,

 

Di negeriku komisi pembelian alat-alat besar, alat-alat ringan,

senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan

peuyeum dipotong birokrasi lebih separuh masuk

kantung jas safari,

 

Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,

anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,

menteri, jenderal, sekjen, dan dirjen sejati, agar

orangtua mereka bersenang hati,

 

Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum sangat-

sangat-sangat-sangat-sangat jelas penipuan besar-

besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,

 

Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan

sandiwara yang opininya bersilang tak habis dan tak

putus dilarang-larang,

 

Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata supaya berdiri pusat

belanja modal raksasa,

 

 

Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,

ciumlah harum aroma mereka punya jenazah, sekarang

saja sementara mereka kalah, kelak perencana dan

pembunuh itu di dasar neraka oleh satpam akhirat akan

diinjak dan dilunyah lumat-lumat,

 

Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia dan tidak

rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli, kabarnya

dengan sepotong SK suatu hari akan masuk Bursa Efek

Jakarta secara resmi,

 

Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan, lima

belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,

 

Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,

fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,

 

Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat jadi pertunjukan teror

penonton antarkota cuma karena sebagian sangat kecil

bangsa kita tak pernah bersedia menerima skor

pertandingan yang disetujui bersama,

 

Di negeriku rupanya sudah diputuskan kita tak terlibat Piala

Dunia demi keamanan antarbangsa, lagi pula Piala

Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil karena Cina,

India, Rusia dan kita tak turut serta, sehingga cukuplah

Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,

 

 

Di negeriku ada pembunuhan, penculikan dan penyiksaan rakyat

terang-terangan di Aceh, Tanjung Priuk, Lampung, Haur

Koneng, Nipah, Santa Cruz, Irian dan Banyuwangi, ada pula

pembantahan terang-terangan yang merupakan dusta

terang-terangan di bawah cahaya surya terang-terangan,

dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai

saksi terang-terangan,

 

Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada, tapi dalam

kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang menyelam di

tumpukan jerami selepas menuai padi.                          

 

    Perasaan malu terus menerus disampaiakn penyair yang kemudian dipertegas pada bab IV dimana tokoh “aku” terlalu malu untuk menunjukan wajahnya pada lingkungan sekitar bahwa ia adalah seorang yang meiliki keturunan Indonesia.

IV

Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak

Hukum tak tegak, doyong berderak-derak

Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,

Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza

Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia

Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata

Dan kubenamkan topi baret di kepala

Malu aku jadi orang Indonesia.

 

1998

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dialetika Dalam Lima Cerpen Karya Shoim Anwar Sebagai Kritik Pemerintah di Masa Kini

       Mungkin akhir-akhir ini kita sering melihat berita-berita yang menyiarkan kabar mengenai kritik tajam terhadap pemerintah. Salah satu...