Sebuah karya
sastra tidak hanya dijadikan sebagai sarana hiburan namun juga dijadikan
sebagai perantara seseorang dalam mengkritik sesuatu. Puisi dikenal sebagai
imajinasi yang ingin diungkapkan oleh penulis yang dikemas menjadi suatu hal
yang indah dengan gaya Bahasa yang beragam. Pada kesempatan kali ini penulis
ingin membahas mengenai salah satu puisi yang ditulis oleh Taufiq Ismail dalam
antologi ouisi dengan judul “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia”. Nama Taufiq
Ismail telah dikenal oleh para penggemar sastra.
Di dalam puisi “Malu
(Aku) Jadi Orang Indonesia” Taufiq Ismail memberikan banyak pesan yang terkait
akan kritik mengenai kehidupan social di Indonesia. Permasalahan yang
dipaparkan oleh Taufiq Ismail yaitu birokrasi, kecurangan bisnis, jual beli
hukum dan kecurangan politik. Di dalam puisi tersebut, taufiq seakan akan ingin
menunjukkan kesedihannya kemirisannya negeri Indonesia tidak hanya miris akan
tingkat masyarakat kecil, namun juga pada masyarakat atas. Bahasa yang
digunakan oleh Taufiq Ismail adalah Bahasa yang lugas dan terkesan menyindir.
Dapat kita lihat
pada puisi tersebut, Taufiq Ismail ingin meningkatkan kepada kita untuk menjadi
lebih baik lagi agar bangs akita berubah menjadi bangsa yang berkualitas. Sudah
terlihat pada judul puisinya, bahwasannya penulis merasa malu akan bangsa yang
memiliki keburukan dalam bisnis politik bahkan birokrasi. Namun, Taufiq juga
sempat menggambarkan kebanggaannya terhadap bangsa Indonesia di awal Indonesia
merdeka pada bab I.
I
Ketika di
Pekalongan, SMA kelas tiga
Ke Wisconsin
aku dapat beasiswa
Sembilan belas
lima enam itulah tahunnya
Aku gembira
jadi anak revolusi Indonesia
Negeriku baru
enam tahun terhormat diakui dunia
Terasa hebat
merebut merdeka dari Belanda
Sahabatku
sekelas, Thomas Stone namanya,
Whitefish Bay
kampung asalnya
Kagum dia pada
revolusi Indonesia
Dia mengarang
tentang pertempuran Surabaya
Jelas Bung
Tomo sebagai tokoh utama
Dan
kecil-kecilan aku nara-sumbernya
Dadaku busung
jadi anak Indonesia
Tom Stone
akhirnya masuk West Point Academy
Dan mendapat
Ph.D. dari Rice University
Dia sudah
pensiun perwira tinggi dari U.S. Army
Dulu dadaku
tegap bila aku berdiri
Mengapa sering
benar aku merunduk kini
Pada Bab
berikutnya, Taufiq mulai menunjukkan kekecewaannya dan rasa malunya terhadap
bangsa Indonesia. Ia mengatakan bahwasannya Indonesia memiliki hukum yang tak beraturan.
Kemudian pada bab ke III Taufiq Ismail menuliskan berbagai perilaku yang tidak
dapat dibenarkan. Bebrapa perilakunya diceritakan bahwa tidak ada kesempatan
bagi masyarakat dalam menyuarakan aspirasinya baik dari para ulama, wartawan
yang menyampaiakn berita bahkan hingga keputusan di pengadilan. Dari beberapa
perilaku dan kejadian yang digambarkan pada puisi dalam bait III adalah tidak sedikit
fakta memalukan dari bangsa kita.
II
Langit langit
akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak
tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku
di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku
di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku
di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia
Di sela
khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan
topi baret di kepala
Malu aku jadi
orang Indonesia.
III
Di negeriku,
selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor
satu,
Di negeriku,
sekongkol bisnis dan birokrasi berterang-terang
curang susah
dicari tandingan,
Di negeriku
anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu
dan cucu
dimanja kuasa ayah, paman dan kakek secara
hancur-hancuran
seujung kuku tak perlu malu,
Di negeriku
komisi pembelian alat-alat besar, alat-alat ringan,
senjata,
pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan
peuyeum
dipotong birokrasi lebih separuh masuk
kantung jas
safari,
Di kedutaan
besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,
anak sekjen
dan anak dirjen dilayani seperti presiden,
menteri,
jenderal, sekjen, dan dirjen sejati, agar
orangtua
mereka bersenang hati,
Di negeriku
penghitungan suara pemilihan umum sangat-
sangat-sangat-sangat-sangat
jelas penipuan besar-
besaran tanpa
seujung rambut pun bersalah perasaan,
Di negeriku
khotbah, surat kabar, majalah, buku dan
sandiwara yang
opininya bersilang tak habis dan tak
putus
dilarang-larang,
Di negeriku
dibakar pasar pedagang jelata supaya berdiri pusat
belanja modal
raksasa,
Di negeriku
Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,
ciumlah harum
aroma mereka punya jenazah, sekarang
saja sementara
mereka kalah, kelak perencana dan
pembunuh itu
di dasar neraka oleh satpam akhirat akan
diinjak dan
dilunyah lumat-lumat,
Di negeriku
keputusan pengadilan secara agak rahasia dan tidak
rahasia dapat
ditawar dalam bentuk jual-beli, kabarnya
dengan
sepotong SK suatu hari akan masuk Bursa Efek
Jakarta secara
resmi,
Di negeriku
rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan, lima
belas ini-itu
tekanan dan sepuluh macam ancaman,
Di negeriku
telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,
fotokopi gosip
dan fitnah bertebar disebar-sebar,
Di negeriku
sepakbola sudah naik tingkat jadi pertunjukan teror
penonton
antarkota cuma karena sebagian sangat kecil
bangsa kita
tak pernah bersedia menerima skor
pertandingan
yang disetujui bersama,
Di negeriku
rupanya sudah diputuskan kita tak terlibat Piala
Dunia demi
keamanan antarbangsa, lagi pula Piala
Dunia itu cuma
urusan negara-negara kecil karena Cina,
India, Rusia
dan kita tak turut serta, sehingga cukuplah
Indonesia jadi
penonton lewat satelit saja,
Di negeriku
ada pembunuhan, penculikan dan penyiksaan rakyat
terang-terangan
di Aceh, Tanjung Priuk, Lampung, Haur
Koneng, Nipah,
Santa Cruz, Irian dan Banyuwangi, ada pula
pembantahan
terang-terangan yang merupakan dusta
terang-terangan
di bawah cahaya surya terang-terangan,
dan matahari
tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai
saksi
terang-terangan,
Di negeriku
budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada, tapi dalam
kehidupan
sehari-hari bagai jarum hilang menyelam di
tumpukan
jerami selepas menuai padi.
Perasaan
malu terus menerus disampaiakn penyair yang kemudian dipertegas pada bab IV
dimana tokoh “aku” terlalu malu untuk menunjukan wajahnya pada lingkungan
sekitar bahwa ia adalah seorang yang meiliki keturunan Indonesia.
IV
Langit
akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum
tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan
aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan
aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan
aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia
Di
sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan
kubenamkan topi baret di kepala
Malu
aku jadi orang Indonesia.
1998